Derap langkah kakiku terdengar jelas saat
kulewati lorong panjang sekolah baruku ini. Ya, hari ini adalah hari terakhir
dari segala penderitaanku selama mengikuti Masa Orientasi Siswa. Seperti yang
kalian ketahui, bagaimana nasibku yang malang ini terbully dengan indahnya oleh para senior.
Seperti hari pertama kemarin, aku sudah
dihadapkan dengan nasib sialku. Sewaktu aku dan teman-temanku ditugaskan untuk
meminta tanda tangan para senior ketertiban, yang terkenal akan keganasan
mereka. Setiap anak sudah dibagi, dengan senior yang mana mereka akan
berhadapan.
Belum lama setelah kami ditugaskan,
sebagian dari kami sudah mengeluh akan perlakuan para senior tersebut.
Bagaimana tidak, untuk mendapatkan sebuah tanda tangan saja kami harus
melakukan tugas yang diberikan para senior. Seperti menyatakan perasaan,
mencari benda yang asal kalian tahu akan sulit untuk mendapatkannya dan masih
banyak hal aneh lainnya.
Aku sempat bersyukur karena tak
mendapatkan senior yang seperti itu, tapi tak lama aku harus menarik kembali
ucapan syukurku karena senior yang satu ini.
“Kau, carilah senior yang mempunyai
tanggal lahir sama sepertimu. Jika sudah, sebagai bukti kau harus berfoto dan
meminta tanda tangannya.” Ujarnya, “Kuberi waktu tiga hari sampai masa
orientasi ini selesai. Jika tidak, mungkin di hari terakhir nanti aku tak akan
melepaskanmu.”
Cerocos senior berjenis kelamin laki-laki
dengan tinggi di atas rata-rata di depanku ini. Aku hanya melotot mendengar
ucapannya, seketika lututku terasa lemas. Jika dia bukan seniorku apalagi bukan
dewan ketertiban, mungkin sudah habis riwayatnya di tanganku hari ini.
Jadi begitulah kurang
lebih akhir dari hidupku. Dua hari sudah kulewati
dengan susah payah, mencari keberadaan makhluk dengan gender apa aku pun tak tahu, yang mempunyai tanggal lahir sama
denganku.
Bagaimana tidak susah, di saat hari-hari
pertama sekolah seperti ini pasti banyak kelas yang kosong dan kalian pasti
tahu kelakuan para murid di saat pelajaran kosong.
Langkahku terhenti seketika saat mendengar
tawa dari sebuah ruangan dekat lorong yang tengah kulewati. Penasaran, aku pun
mendekatkan tubuhku ke sebuah jendela yang mengarah ke dalam ruangan tersebut.
Aku tak tahu secara detail siapa yang
disana−karena mereka berdiri membelakangiku, hanya saja aku yakin kalau
mereka adalah senior yang tergabung di dalam dewan ketertiban−melihat dari seragam yang dikenakan.
“Hei, apa kau tidak keterlaluan dengan murid baru itu?” ucap salah
satu dari mereka yang sedang duduk membelakangi jendela.
“Kau tahu kan, aku suka mencari hal-hal
yang baru. Dan bocah itu saja yang
sedang bernasib buruk mendapatkan tugas itu.” Sahut suara lain yang kuyakini
sebagai suara senior menyebalkan yang kini sedang menyiksaku dengan tugas
konyolnya itu.
“Hei hei, aku mengerti. Hanya saja kau tahu
kan hanya ada satu orang dari seluruh siswa yang memiliki tanggal lahir yang
sama dengannya?” Tunggu, hanya satu
orang? Oke ini semakin terdengar gila. Kudekatkan sebelah telingaku hingga menempel dinding yang
membatasi, mencoba mendengarkan percakapan yang menurutku cukup penting ini. “Dan
kau juga tahu orang itu−”
“Hei Sovi, apa yang ka−hmpft!”
Sial. Segera kubekap mulut orang yang
berani-beraninya mengganggu pengintaianku ini, dan menariknya menjauh menuju
taman terdekat di seberang lorong.
“Hh hh, ya! Apa yang kau lakukan? Kau
ingin membunuhku? Aku ini senior mu!” Ucap orang tadi, atau tepatnya laki-laki
tadi sambil menjitak pelan ujung kepalaku.
Ya, memang benar dia seniorku, tapi entahlah aku sudah terbiasa bersikap
seperti ini dengannya. Berhubung sewaktu SMP dulu dia seniorku dan sekarang bertemu lagi di
sini, membosankan. Dan aku lebih
sering memanggilnya dengan Bayu daripada menambah embel-embel ‘kakak’ di
depannya.
“Aa, sakit! Iya iya aku mengerti K-A-K-A-K Bayu! Puas?” gerutuku kesal, dengan penekanan pada
kata kakak.
Dasar Bayu,
sudah berani menggangguku, sekarang kepalaku yang menjadi korban penyiksaannya.
“ Lagipula siapa suruh kau mengendap-endap
seperti itu? Membuat orang curiga saja.”
“Kau tak mengerti.” Ucapku lirih sambil
menghela nafas pelan, menyandarkan punggungku di sandaran bangku taman.
“Kenapa? Memang kau diberi tugas apa? Mencari tanda
tangan? Sini biar kutanda tangani saja.” Ujarnya melihat perubahan suaraku,
seraya merebut buku kecil dan pena yang sedang kupegang. “begini kan lebih
baik, daripada kosong?” lanjutnya, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Mengembalikan lagi bukuku setelah meyobek salah satu halamannya.
“Yang benar saja, kau mau mengiburku atau mengejekku,
ha?” Aku mendelik kesal melihat tingkah kekanakannya yang satu ini.
“Baiklah baiklah, jadi apa ada yang bisa kubantu adik kecil?”
“Ya! Kau−”
Jeritku frustasi, “Hh sudahlah, jadi begini…” Aku menceritakan semuanya,
tentang tugas menyebalkan sampai informasi setengah jadi yang baru saja
kudengar. “…kurang lebih begitu, dan sampai saat ini pun aku belum bisa
menemukan siapa itu.”
“Berapa tanggal lahirmu?”
“30
Juni…”
“30 Juni ya…Ah ya, aku tadi baru saja mengumpulkan biodata murid tingkat
dua untuk urusan daftar siswa. Yah, mungkin saja ada yang sama.” Bayu menyodorkan setumpuk kertas yang sedari tadi
tertumpuk di sebelahnya. Aku menyambutnya dengan mata berbinar, semoga saja
keberuntungan berpihak padaku.
Aku meneliti satu per satu huruf yang
tertera di kertas yang berada di pangkuanku ini, serasa tak ingin melewatkan
satu huruf pun. Lembar terakhir, aku hampir menyerah. Tidak ada yang mempunyai
tanggal lahir yang sama denganku.
Aku menghela napas pelan, meneruskan
kegiatanku. T-tunggu…
“Yeah!”
Sontak aku berdiri dari tempat dudukku. Bayu yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya−sebenarnya aku tak tahu apa yang sedang dikerjakannya−berjingkat kaget,
dan hampir saja terjatuh dari bangku. Aku yang melihatnya hanya menahan tawa
sambil mengacungkan kedua jariku.
“Ya!
Jangan mengagetkanku.” Bayu mendengus kesal.
“Maaf-maaf,
yang terpenting aku sudah menemukannya. Yeay!”
“Benarkah?
Siapa namanya?”
“Eng,
Abbas…Abbas Parva …” Jawabku
sembari menelusuri sederet nama yang tertera di lembar terakhir dan paling
bawah.
“Apa? Abbas
Parva?” Bayu memandangku seperti setengah tak percaya.
“Kenapa memangnya?”
“Eng, tidak. Hanya saja dia ketua OSIS di
sini.”
Sebenarnya aku sendiri belum pernah bertemu dengan ketua OSIS sekolah ini. Wajar saja,
di saat seperti ini pasti pekerjaannya semakin menumpuk, aku turut perihatin.
“Jadi, di mana aku bisa menemukannya?”
“Mungkin di ruang OSIS,” ucap Bayu sembari membuat
origami bermodalkan kertas yang disobek dari halaman bukuku tadi. “Apa kau
lihat-lihat? Jangan terpesona begitu.” Aku mengerucutkan bibir kesal, melihat
kelakuannya. “Hh, baiklah baiklah aku akan membantumu. Tapi hanya sebatas
mempertemukan kalian saja oke?”
“Nah, begini kan baru senior kesayanganku...”
Tok…Tok…
“Masuk.”
Sahut sebuah suara dari dalam ruang. Bayu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan plakat bertuliskan ‘Ruang
OSIS’ di depan pintunya,
Sambil menunggu Bayu keluar dari ruangan,
aku bersandar di tembok dimana tempatku berada sekarang, memainkan buku yang
sedang kupegang.
Tak lama, Bayu keluar dari ruangan dan menyuruhku langsung
masuk.
“Sukses ya.”
Apa
maksudnya? Aku memandangnya seolah meminta
penjelasan,
namun ia hanya menyeringai lebar sambil mengepalkan tangannya di udara, dan berlalu.
Dasar aneh.
Tak menghiraukannya lagi, aku pun
mendorong pintu ruangan tersebut perlahan. “Permisi.” Ucapku pelan, setelah
sebelumnya mendengar jawaban ‘masuk’.
Aku memandang sekeliling ruangan, heran.
Ini ruang OSIS?
Meja besar tertata rapi di tengah ruangan,
dengan kursi berlapis kulit di belakangnya. Lampu gantung besar menjadikan
suasana terkesan ‘wah’ dalam ruangan tersebut. Rak buku berjejer rapi menutupi
tembok yang bercat merah marun.
Sesaat, kedua pupil mataku menangkap
seseorang sedang berdiri memunggungiku. Ah ini pasti ketua OSIS.
Akhirnya,
penderitaanku sampai di sini dan aku bisa selamat dari senior kejam yang
memberiku tugas ini. Aku menghela nafas pelan dan melangkah mendekat.
“Permisi…Apa−”
Tenggorokanku tercekat, mataku melotot tak percaya. Kakiku lemas seketika. Demi
apapun, aku tak ingin melihat raut mukaku saat ini. “K-kau…” Aku memandang
sosok tinggi di depanku, masih tak percaya.
“Kita bertemu lagi, Sovi Burgess.” Seringai
tajam terlukis jelas diwajahnya.
Dia Abbas Parva. Sang ketua OSIS.
.
.
.
.
.
.
Dialah senior yang telah
memberiku tugas laknat ini.