Rabu, 19 November 2014

MOS


Derap langkah kakiku terdengar jelas saat kulewati lorong panjang sekolah baruku ini. Ya, hari ini adalah hari terakhir dari segala penderitaanku selama mengikuti Masa Orientasi Siswa. Seperti yang kalian ketahui, bagaimana nasibku yang malang ini terbully dengan indahnya oleh para senior.
Seperti hari pertama kemarin, aku sudah dihadapkan dengan nasib sialku. Sewaktu aku dan teman-temanku ditugaskan untuk meminta tanda tangan para senior ketertiban, yang terkenal akan keganasan mereka. Setiap anak sudah dibagi, dengan senior yang mana mereka akan berhadapan.
Belum lama setelah kami ditugaskan, sebagian dari kami sudah mengeluh akan perlakuan para senior tersebut. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan sebuah tanda tangan saja kami harus melakukan tugas yang diberikan para senior. Seperti menyatakan perasaan, mencari benda yang asal kalian tahu akan sulit untuk mendapatkannya dan masih banyak hal aneh lainnya.
Aku sempat bersyukur karena tak mendapatkan senior yang seperti itu, tapi tak lama aku harus menarik kembali ucapan syukurku karena senior yang satu ini.
“Kau, carilah senior yang mempunyai tanggal lahir sama sepertimu. Jika sudah, sebagai bukti kau harus berfoto dan meminta tanda tangannya.” Ujarnya, “Kuberi waktu tiga hari sampai masa orientasi ini selesai. Jika tidak, mungkin di hari terakhir nanti aku tak akan melepaskanmu.”
Cerocos senior berjenis kelamin laki-laki dengan tinggi di atas rata-rata di depanku ini. Aku hanya melotot mendengar ucapannya, seketika lututku terasa lemas. Jika dia bukan seniorku apalagi bukan dewan ketertiban, mungkin sudah habis riwayatnya di tanganku hari ini.
Jadi begitulah kurang lebih akhir dari hidupku. Dua hari sudah kulewati dengan susah payah, mencari keberadaan makhluk dengan gender apa aku pun tak tahu, yang mempunyai tanggal lahir sama denganku.
Bagaimana tidak susah, di saat hari-hari pertama sekolah seperti ini pasti banyak kelas yang kosong dan kalian pasti tahu kelakuan para murid di saat pelajaran kosong.
Langkahku terhenti seketika saat mendengar tawa dari sebuah ruangan dekat lorong yang tengah kulewati. Penasaran, aku pun mendekatkan tubuhku ke sebuah jendela yang mengarah ke dalam ruangan tersebut.
Aku tak tahu secara detail siapa yang disanakarena mereka berdiri membelakangiku, hanya saja aku yakin kalau mereka adalah senior yang tergabung di dalam dewan ketertibanmelihat dari seragam yang dikenakan.
Hei, apa kau tidak keterlaluan dengan murid baru itu?” ucap salah satu dari mereka yang sedang duduk membelakangi jendela.
“Kau tahu kan, aku suka mencari hal-hal yang baru. Dan bocah itu saja yang sedang bernasib buruk mendapatkan tugas itu.” Sahut suara lain yang kuyakini sebagai suara senior menyebalkan yang kini sedang menyiksaku dengan tugas konyolnya itu.
“Hei hei, aku mengerti. Hanya saja kau tahu kan hanya ada satu orang dari seluruh siswa yang memiliki tanggal lahir yang sama dengannya?” Tunggu, hanya satu orang? Oke ini semakin terdengar gila. Kudekatkan sebelah telingaku hingga menempel dinding yang membatasi, mencoba mendengarkan percakapan yang menurutku cukup penting ini. “Dan kau juga tahu orang itu
Hei Sovi, apa yang kahmpft!”
Sial. Segera kubekap mulut orang yang berani-beraninya mengganggu pengintaianku ini, dan menariknya menjauh menuju taman terdekat di seberang lorong.
“Hh hh, ya! Apa yang kau lakukan? Kau ingin membunuhku? Aku ini senior mu!” Ucap orang tadi, atau tepatnya laki-laki tadi sambil menjitak pelan ujung kepalaku.
Ya, memang benar dia seniorku, tapi entahlah aku sudah terbiasa bersikap seperti ini dengannya. Berhubung sewaktu SMP dulu dia seniorku dan sekarang bertemu lagi di sini, membosankan. Dan aku lebih sering memanggilnya dengan Bayu daripada menambah embel-embel ‘kakak’ di depannya.
“Aa, sakit! Iya iya aku mengerti K-A-K-A-K Bayu! Puas?” gerutuku kesal, dengan penekanan pada kata kakak. Dasar Bayu, sudah berani menggangguku, sekarang kepalaku yang menjadi korban penyiksaannya.
“ Lagipula siapa suruh kau mengendap-endap seperti itu? Membuat orang curiga saja.”
“Kau tak mengerti.” Ucapku lirih sambil menghela nafas pelan, menyandarkan punggungku di sandaran bangku taman.
Kenapa? Memang kau diberi tugas apa? Mencari tanda tangan? Sini biar kutanda tangani saja.” Ujarnya melihat perubahan suaraku, seraya merebut buku kecil dan pena yang sedang kupegang. “begini kan lebih baik, daripada kosong?” lanjutnya, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Mengembalikan lagi bukuku setelah meyobek salah satu halamannya.
Yang benar saja, kau mau mengiburku atau mengejekku, ha?” Aku mendelik kesal melihat tingkah kekanakannya yang satu ini.
Baiklah baiklah, jadi apa ada yang bisa kubantu adik kecil?”
“Ya! Kau” Jeritku frustasi, “Hh sudahlah, jadi begini…” Aku menceritakan semuanya, tentang tugas menyebalkan sampai informasi setengah jadi yang baru saja kudengar. “…kurang lebih begitu, dan sampai saat ini pun aku belum bisa menemukan siapa itu.”
“Berapa tanggal lahirmu?”
30 Juni…”
30 Juni ya…Ah ya, aku tadi baru saja mengumpulkan biodata murid tingkat dua untuk urusan daftar siswa. Yah, mungkin saja ada yang sama.” Bayu menyodorkan setumpuk kertas yang sedari tadi tertumpuk di sebelahnya. Aku menyambutnya dengan mata berbinar, semoga saja keberuntungan berpihak padaku.
Aku meneliti satu per satu huruf yang tertera di kertas yang berada di pangkuanku ini, serasa tak ingin melewatkan satu huruf pun. Lembar terakhir, aku hampir menyerah. Tidak ada yang mempunyai tanggal lahir yang sama denganku.
Aku menghela napas pelan, meneruskan kegiatanku. T-tunggu…
Yeah!” Sontak aku berdiri dari tempat dudukku. Bayu yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannyasebenarnya aku tak tahu apa yang sedang dikerjakannya−berjingkat kaget, dan hampir saja terjatuh dari bangku. Aku yang melihatnya hanya menahan tawa sambil mengacungkan kedua jariku.
“Ya! Jangan mengagetkanku.” Bayu mendengus kesal.
“Maaf-maaf, yang terpenting aku sudah menemukannya. Yeay!
“Benarkah? Siapa namanya?”
“Eng, AbbasAbbas Parva …” Jawabku sembari menelusuri sederet nama yang tertera di lembar terakhir dan paling bawah.
Apa? Abbas Parva?” Bayu memandangku seperti setengah tak percaya.
“Kenapa memangnya?”
“Eng, tidak. Hanya saja dia ketua OSIS di sini.”
Sebenarnya aku sendiri belum pernah bertemu dengan ketua OSIS sekolah ini. Wajar saja, di saat seperti ini pasti pekerjaannya semakin menumpuk, aku turut perihatin.
“Jadi, di mana aku bisa menemukannya?”
“Mungkin di ruang OSIS,” ucap Bayu sembari membuat origami bermodalkan kertas yang disobek dari halaman bukuku tadi. “Apa kau lihat-lihat? Jangan terpesona begitu.” Aku mengerucutkan bibir kesal, melihat kelakuannya. “Hh, baiklah baiklah aku akan membantumu. Tapi hanya sebatas mempertemukan kalian saja oke?”
“Nah, begini kan baru senior kesayanganku...”
*       
Tok…Tok…
“Masuk.” Sahut sebuah suara dari dalam ruang. Bayu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan plakat bertuliskan ‘Ruang OSIS’ di depan pintunya,
Sambil menunggu Bayu keluar dari ruangan, aku bersandar di tembok dimana tempatku berada sekarang, memainkan buku yang sedang kupegang.
Tak lama, Bayu keluar dari ruangan dan menyuruhku langsung masuk.
“Sukses ya.”
Apa maksudnya? Aku memandangnya seolah meminta penjelasan, namun ia hanya menyeringai lebar sambil mengepalkan tangannya di udara, dan berlalu.
Dasar aneh.
Tak menghiraukannya lagi, aku pun mendorong pintu ruangan tersebut perlahan. “Permisi.” Ucapku pelan, setelah sebelumnya mendengar jawaban ‘masuk’.
Aku memandang sekeliling ruangan, heran. Ini ruang OSIS?
Meja besar tertata rapi di tengah ruangan, dengan kursi berlapis kulit di belakangnya. Lampu gantung besar menjadikan suasana terkesan ‘wah’ dalam ruangan tersebut. Rak buku berjejer rapi menutupi tembok yang bercat merah marun.
Sesaat, kedua pupil mataku menangkap seseorang sedang berdiri memunggungiku. Ah ini pasti ketua OSIS.
Akhirnya, penderitaanku sampai di sini dan aku bisa selamat dari senior kejam yang memberiku tugas ini. Aku menghela nafas pelan dan melangkah mendekat.
“Permisi…Apa” Tenggorokanku tercekat, mataku melotot tak percaya. Kakiku lemas seketika. Demi apapun, aku tak ingin melihat raut mukaku saat ini. “K-kau…” Aku memandang sosok tinggi di depanku, masih tak percaya.
“Kita bertemu lagi, Sovi Burgess.” Seringai tajam terlukis jelas diwajahnya.

Dia Abbas Parva. Sang ketua OSIS.
.
.
.
.
.
.
Dialah senior yang telah memberiku tugas laknat ini.

2 komentar:

  1. Kok aku suka sama Abbas Parva ya? Dari awal pas ada kata-kata “hanya satu orang di sekolah ini yang punya tanggal sama dengannya” atau apalah, udah ada feeling kalau yang ngasih tugas itu juga yang tanggal lahirnya sama. Kok ya dia tahu kalau kalian tanggalnya sama? Apa jangan-jangan si Parva ini suka sama Burgess? Atau ia punya indra keenam? Atau... dia ketua panitia MOS yang suka cari mangsa sambil modus dengan membaca semua data adik kelas yang ikut MOS dan ia bertemu namamu dan tertarik? Haha, tetap saja yang namanya Ketua OSIS itu tak mudah dimengerti. Kadang ada hal yang salah atau malah di-php-in sama Ketos. Oke, ini jadi curhat. Nyahahaha... LOL

    Tapi, siapakah Abbas Parva ini? Siapa Ketos dengan gender cowok yang narsisnya dan modusnya setengah hidup? Apa jangan-jangan... Haha, mari kita tinggalkan misteri kepada penulis.

    Um, untuk kaidah penulisan #eaa bagian:

    “Ya! Kau−” Jeritku frustasi, “Hh sudahlah, jadi begini…” Aku menceritakan semuanya, tentang tugas menyebalkan sampai informasi setengah jadi yang baru saja kudengar. “…kurang lebih begitu, dan sampai saat ini pun aku belum bisa menemukan siapa itu.”

    Mungkin menjadi:

    “Ya! Kau−” jeritku frustasi.

    “Hh sudahlah, jadi begini…” Aku menceritakan semuanya, tentang tugas menyebalkan sampai informasi setengah jadi yang baru saja kudengar. “… kurang lebih begitu, dan sampai saat ini pun aku belum bisa menemukan siapa itu.”

    Begitu, mungkin? Haha, tapi ya bagus kok, penulisannya. Alur ceritanya juga bikin ketawa banget. Masa iya Ketosnya perhatian gitu sama kamu (kita asumsikan bahwa Sovi Burgess adalah kamu), Kak? Nyahahahaha... jadi, siapakah Abbas Parva? Apa ia semacam makhluk kece yang bisa dikecein? Baiklah, sekian dari saya.

    It’s time to looking for Abbas Parva~ :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya anggap saja si Abbas Parva ini sang ketua MOS yang suka modus. Haha.
      Entahlah, aku pun tak tahu pasti aku memikirkan siapa di saat menciptakan si Abbas Parva ini, hanya saja aku berfikir bagus juga membuat tokoh jahil yang kurang ajar seperti dia ini.

      Ah ya bagian itu, terima kasih koreksinya~ ngaha.
      akan segera kuperbaiki di naskah aslinya.

      Ah, tak usah repot-repot mengasumsikan si Sovi itu adalah aku, karena aku tak sudi untuk di beri perhatian oleh ketosku yang sekarang. Kau tahu siapa dia? Ah, namanya akan mengingatkanmu pada salah satu lagu Rhoma Irama--kalau aku tak salah.
      Silahkan menebak~

      Hapus