Senin, 02 Maret 2015

Sebuah Kisah



Satu tetes, dua tetes. Air hujan mengalir perlahan dari atap tua yang melindungiku dari hujan. Desir angin malam menambah kesunyian. Sebuah cahaya melesat cepat di langit kelam. Cahaya yang sering disebut manusia dengan petir.
Ya manusia, makhluk yang terlahir hampir sepenuhnya sempurna. Yang seiiring berjalannya waktu akan terlihat semakin tua dan renta. Aku hidup dengan salah satu dari mereka. Seorang wanita lanjut usia, yang selalu menatapku lembut seakan aku makhluk paling berharga. Ah, mungkin aku terlalu melebih –lebihkan.
“Terima kasih.”  Ingin sekali kuucapkan kata-kata itu kepadanya. Namun aku tak bisa.
“Abe...”
Aku menoleh, mendapati wanita tua itu sudah duduk di atas kursi goyang kesukaannya. Dua buah jarum tenun beserta benang wol tergeletak di meja di sebelah wanita tua itu.“Pasti syal baru.” pikirku.
Kedua iris hijau ku memantulkan bayangan akan keberadaannya. Dia tersenyum, melambai lemah ke arahku.
“Kemarilah Abe! Apa kau sudah makan malam, Sayang?”
Kaki-kaki kecilku melangkah perlahan. Hup! Aku duduk di pangkuannya, menggeliat pelan, seraya mendekatkan badanku. Hangat.
“Aku harap dapat seperti ini selamanya.”
Wanita tua itu mengelus pelan rambutku dengan jari-jari tangannya yang mulai berkerut. Helaan napasnya terdengar teratur namun terasa berat. “Dia semakin menua.” pikirku.
“Terima kasih telah menemaniku selama ini, Abe. Kau sudah kuanggap seperti putraku sendiri. Di saat para putraku harus merantau mencari nafkah untuk menghidupi wanita tua yang tak berguna sepertiku ini. Aku sudah semakin tua, mungkin sebentar lagi akan tiba saatnya aku harus pergi.”
Aku mendongak, menatap wanita tua itu. Satu per satu bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya.
“Apa yang dimaksudnya dengan pergi? Tidak! Jangan berkata begitu, jangan tinggalkan aku. Kumohon ,jangan menangis.” Ingin sekali aku mengusap air mata itu. Menenangkannya. Namun aku tak bisa, mengingat semua kekurangan yang kumiliki ini. Aku hanya bisa mendekatkan tubuhku ke arahnya.
“Terima kasih...Abe.”
Dan akhirnya, semuanya menghilang.
*
-Tiga hari kemudian.-
“Apa kalian melihat Abe?”
“Hey Abbas! Bukannya itu Abe?”
“Dimana? Ah disana kau rupanya. Ayo pulang, Abe!”
“Pulang? Tapi bukannya aku sudah di rumah? Dan kenapa kalian membawa banyak kardus?”
“Sekarang kamu akan tinggal bersama keluargaku.”
“Tinggal bersama kalian? Lalu bagaimana dengan wanita tua itu?Aku tidak akan meninggalkannya sendirian.”
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke kursi goyang yang terletak di hadapanku. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat keberadaan wanita tua itu. Terakhir kali, aku melihatnya sedang tertidur pulas di dalam sebuah kotak kayu berhias banyak sekali bunga. Dia terlihat menyukai tempat itu, seulas senyum menghiasi wajahnya yang keriput. Dia tampak cantik dengan gaun putih yang membalut badannya.
Namun di saat itu juga, banyak orang berdatangan di rumah wanita itu. Aku heran, kenapa mereka menangis? Banyak wajah-wajah asing yang muncul di sana. Ah ya, aku ingat laki-laki yang memanggilku tadi juga di sana. Namun raut wajahnya terlihat sedih. Samar-samar aku mendengar nya berkata, “...dia telah tiada.” Aku tak mengerti apa maksudnya.
“Abe!”
Aku menoleh ke arah asal suara. Ah laki-laki itu. Aku berjalan mendekatinya, dia mengangkat tubuhku yang terasa sangat kecil dibandingkan tubuh besarnya.
“Ayo pulang, kucing manis.” Ucapnya sembari mengelus pelan tengkukku. Aku mengeong pelan, menggeliat di pelukannya.
“Mungkin aku dapat bertemu lagi dengan wanita tua itu nanti.” 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar