Satu tetes, dua tetes. Air hujan mengalir
perlahan dari atap tua yang melindungiku dari hujan. Desir angin malam menambah
kesunyian. Sebuah cahaya melesat cepat di langit kelam. Cahaya yang sering
disebut manusia dengan petir.
Ya manusia, makhluk yang terlahir hampir
sepenuhnya sempurna. Yang seiiring berjalannya waktu akan terlihat semakin tua
dan renta. Aku hidup dengan salah satu dari mereka. Seorang wanita lanjut usia,
yang selalu menatapku lembut seakan aku makhluk paling berharga. Ah, mungkin
aku terlalu melebih –lebihkan.
“Terima
kasih.” Ingin sekali kuucapkan kata-kata itu
kepadanya. Namun aku tak bisa.
“Abe...”
Aku menoleh, mendapati wanita tua itu
sudah duduk di atas kursi goyang kesukaannya. Dua buah jarum tenun beserta
benang wol tergeletak di meja di sebelah wanita tua itu.“Pasti syal baru.” pikirku.
Kedua iris hijau ku memantulkan bayangan
akan keberadaannya. Dia tersenyum, melambai lemah ke arahku.
“Kemarilah Abe! Apa kau sudah makan malam,
Sayang?”
Kaki-kaki kecilku melangkah perlahan. Hup!
Aku duduk di pangkuannya, menggeliat pelan, seraya mendekatkan badanku. Hangat.
“Aku
harap dapat seperti ini selamanya.”
Wanita tua itu mengelus pelan rambutku
dengan jari-jari tangannya yang mulai berkerut. Helaan napasnya terdengar teratur
namun terasa berat. “Dia semakin menua.” pikirku.
“Terima kasih telah menemaniku selama ini,
Abe. Kau sudah kuanggap seperti putraku sendiri. Di saat para putraku harus
merantau mencari nafkah untuk menghidupi wanita tua yang tak berguna sepertiku
ini. Aku sudah semakin tua, mungkin sebentar lagi akan tiba saatnya aku harus
pergi.”
Aku mendongak, menatap wanita tua itu.
Satu per satu bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya.
“Apa
yang dimaksudnya dengan pergi? Tidak! Jangan berkata begitu, jangan tinggalkan
aku. Kumohon ,jangan menangis.” Ingin sekali aku mengusap
air mata itu. Menenangkannya. Namun aku tak bisa, mengingat semua kekurangan
yang kumiliki ini. Aku hanya bisa mendekatkan tubuhku ke arahnya.
“Terima
kasih...Abe.”
Dan akhirnya, semuanya menghilang.
*
-Tiga hari kemudian.-
“Apa kalian melihat Abe?”
“Hey Abbas! Bukannya itu Abe?”
“Dimana? Ah disana kau rupanya. Ayo pulang,
Abe!”
“Pulang?
Tapi bukannya aku sudah di rumah? Dan kenapa kalian membawa banyak kardus?”
“Sekarang kamu akan tinggal bersama
keluargaku.”
“Tinggal
bersama kalian? Lalu bagaimana dengan wanita tua itu?Aku tidak akan
meninggalkannya sendirian.”
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke
kursi goyang yang terletak di hadapanku. Sudah beberapa hari ini aku tidak
melihat keberadaan wanita tua itu. Terakhir kali, aku melihatnya sedang
tertidur pulas di dalam sebuah kotak kayu berhias banyak sekali bunga. Dia
terlihat menyukai tempat itu, seulas senyum menghiasi wajahnya yang keriput.
Dia tampak cantik dengan gaun putih yang membalut badannya.
Namun di saat itu juga, banyak orang
berdatangan di rumah wanita itu. Aku heran, kenapa mereka menangis? Banyak
wajah-wajah asing yang muncul di sana. Ah ya, aku ingat laki-laki yang
memanggilku tadi juga di sana. Namun raut wajahnya terlihat sedih. Samar-samar
aku mendengar nya berkata, “...dia telah tiada.” Aku tak mengerti apa
maksudnya.
“Abe!”
Aku menoleh ke arah asal suara. Ah laki-laki itu. Aku berjalan
mendekatinya, dia mengangkat tubuhku yang terasa sangat kecil dibandingkan tubuh
besarnya.
“Ayo pulang, kucing manis.” Ucapnya sembari mengelus pelan tengkukku. Aku
mengeong pelan, menggeliat di pelukannya.
“Mungkin
aku dapat bertemu lagi dengan wanita tua itu nanti.”